Oleh : Azmi Al Amien
Beberapa hari yang lalu publik dunia sosial di hebohkan lagi dengan ulah aparat negara, kali ini kehebohan tersebut bukan karena ulah angggota dewan yang ketahuan tidur di sela-sela rapat di senayan atau bukan juga karena presiden jokowi yang sedang melakukan ritual pencitraan “blusukan” ke masyarakat desa atau pesisir, namun kehebohan kali ini dilakukan oleh aparat negara yang mengatasnamakan diri sebagai pasukan anti teror atau yang biasa dikenal dengan pasukan densus 88 yang melakukan tindakan sewenang-wenang.
Begini kronologinya, Pak suyono imam sebuah dimasjid di klaten selepas melaksanakan shalat maghrib masjid tiba-tiba di tangkap oleh densus 88 dengan dalih “terduga” teroris, ketika penangkapan dan dibawa oleh densus 88 dengan keadaan sehat namun beberapa hari kemudian pasca penangkapn keluarga dan publik dikabarkan dengn berita mengejutkan yang menyatakan bahwa suyono telah meninggal dunia, Sebuah kabar tak mengenakan.
Suyono adalah yang menjadi korban sekian ratus dari ratusan korban lainya yang dilakukan oleh densus 88 dengan status masih “terduga” belum tersangka, status “terduga” seharusnya bukan menjadi bukti untuk berbuat sewenang-wenang sampai kemudian menelan korban.
lagi-lagi dalih “terduga” teroris seolah-olah menjadi sebuah pelampiasan perbuatn sewenang-wenang aprat negara untuk menghukum sehabis-habisnya tanpa bukti yang kuat dalam menegakan hukum.
Kemanakah keadilan hukum selama ini? Apalagi kasus semacam ini sudah terjadi berkali-kali tanpa di usut tuntas hingga ke ranah pengadilan atau hukum.
Menurut data Badan Intelegen Nasional (BIN) tahun 2002 ketika pasca terjadinya kasus bom bali densus 88 mulai di bentuk dengan campur tangan dan di sokong dana dari amerika, dengan tugas utamanya yaitu melawan “terorisme”. namun kurang lebih 14 thun densus 88 bekerja belum melakukan tugas secara maksimal sesuai denga tugasnya.
Menrut data telah ada berpuluh orang korban salah tangkap dan ratusan orang yng menjadi korban kebiadaban densus padahaal baru “terduga” dan dalam hal ini islam selalu menjadi korban di diskreditkan untuk di serang kemudian Al Quran kitab suci umat islam selalu dijadikan sebgai alasan bukti kuat dalam setiap penangkapanya. Sungguh ironis.
Bila kita lihat selama ini bahwa terorisme itu selalu yang berbau-bau dengan issue islam, namun bila kita lihat secara luas bahwa yang dimaksud dengan teroris adalah ‘‘orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut”, namun pasca kejadian Pengeboman WTC tahun 2001 selalu islam yang dilibatkan sebagai oknum teroris padahal tak semuanya demikian.
Kita lihat kasus kejadian pemberontakn masjid di papua yang dilakukan oleh masyrkt mayorits kristen disanah namun kemudian publik atau media tidak meenyebut mereka sebagai teroris?
Bahkan peristiwa demikian sering terjadi namun solah-olah media tak minat untuk memblow up berita yang tidak berbau tentang keislaman seperti kasus tersebut.
Bahkan peristiwa demikian sering terjadi namun solah-olah media tak minat untuk memblow up berita yang tidak berbau tentang keislaman seperti kasus tersebut.
Pasca kejadian suyono berbagai aspirasi dari berbagai elemen menginginkan densus 88 di bubarkan dengan alasan sudah banyak korban salah tangkap yang di rugikan dan begitu juga korban meninggal dengan statsus baru “terduga”, ada juga yang menginginka harus ada perbaikan menejemen densus secara total harapanya agar peristiwa demikian tidak terjadi lagi.
Sudah beberapa kali ini penangkapan yang di lakukan densus dengan melanggar norma etika dan hak asasi manusia, bahkan sampai menakut-nakuti dan menimbulkan “trauma” pada anak-anak korban dan msayarakat yang ada di lokasi terutama anak-anak.
Jadi sebenarnya densus 88 itu anti teror atau peneror?
Jadi sebenarnya densus 88 itu anti teror atau peneror?
Masjid Jogokriyan Yogyakarta, 18 Maret 2016
23.19 wib
23.19 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar