Senin, 18 September 2017

KULIAH KERJA NYATA (KKN)


Berpetualang menggapai mimpi..

Bukankah sejarah dunia menunjukkan bahwa tidak ada romantika kehidupan jika tidak ada resiko? Begitu kata Gandi..

Kurang lebih 10 tahun yg lalu aku terjebak dalam titik terelemah dalam hidup. Aku menjadi manusia yg pesimis, seperti tak memiliki secercah cahaya masa depan yg baik.Mimpi yg menempel di dinding-dinding kamar hanya bisa kutatap, membisu, kotor dan berdebu dipenuhi jaring laba-laba yg kusam. Aku lesu seolah-olah ada dinding besar yg menghadang. Dinding kehidupan yg penuh rintangan.

10 tahun berlalu, perlahan aku mencoba bangkit. Aku sadar bahwa sebagai manusia aku tidak bisa menyalahi takdir hidup. Aku yakin Tuhan memberi takdir hidup kepada setiap manusia dengan sebaik-baiknya.

Pernah suatu ketika aku merenung dalam kesendirian,  "Mengapa hidup sedimikian rumit? Mengapa hidup penuh dengan tanya?"

Diusiaku yg masih belia aku mencoba terus bertanya dan mencaari jawaban, kehidupanku memang penuh dengan tanya dan tantangan.
tantangan hidup sudah seperti bumbu sedap yg yg sudah menjadi santapan setiap hari. Ialah fitrah ketika manusia akan fluktuatif dalam menikmatinya..

Namun,
Bukankah Hidup adalah perjuangan?

Kupikir Setiap langkah-langkah kaki menuju ladang kebaikan adalah titah perjuangan, setiap lisan yg mengeluarkan untaian kata2 baik adalah perjuangan. Setiap gerak tubuh yg ditujukan untuk kebaikan adalah perjuangan. Hidup adalah perjuangan!


Semua telah berlalu, aku berhasil melawati masa titik itu. Alhamdulillah.

Ku pikir benar bahwa Tuhan tidak akan membiarkan HambaNya untuk hidup dalam kesulitan.
Fainnamaal usri yusroo (dibalik kesulitan pasti ada kemudahan) dibalik keringnya gurun pasir tersimpan kekayaan minyak yg berlimpah.

Semua itu dualisme nilai hidup yg tak terpisahkan, berkontradiksi namun itulah nilai sempurnanya dari kehidupan.

Aku menyadari bahwa dibalik tantangan hidup menyimpan hikmah dan nilai-nilai suci kehidupan.


PERJUANGAN ADALAH NAFAS KEHIDUPAN, JANGAN BERHENTI BERJUANG ! 

Sabtu, 09 September 2017

JAUH




Tiada hal yang lebih manjur untuk mengobati heningnya perpisahan selain merindu dan bersabar. Tersebab kita bukan manusia mahahebat yang bisa hidup sendiri. Tersebab perpisahan selalu menyisakan rasa yang asing dalam batin kita: rasa yang menggugu dan tak biasa. Meski keterpisahan tidak melulu soal air mata. Meski keterpisahan tidak melulu soal kenelangsaan. Meski kita sepenuhnya menyadari bahwa pada hakikatnya keterpisahan hanyalah tipu daya waktu.

Kita akan mengenang saat-saat itu. Waktu kita—entah aku atau dirimu—mencari alasan-alasan kecil untuk sekedar mencipta kesempatan berjumpa. Bukan untuk menatap. Apalagi saling menyapa lalu tersipu. Karena bagiku, mengetahui bahwa kau baik-baik saja sudah lebih dari cukup. Apalagi mengetahui bahwa kita dekat: rasanya seperti menyicip secuil surga. Aku mulai berlebihan.

Kita akan mengenang saat-saat itu. Ketika aksara mampu—meski malu-malu—berbicara lebih jujur dari apapun. Dengan canda-canda ringan yang kadang jadi absurd karena kebablasan. Dengan bumbu metafora yang barangkali kita juga tak mengerti. Tapi bukankah bagi kita pengertian itu sudah ada, bahkan sebelum terucap kata?

Kenanglah saat-saat itu. Tidakkah kau merasa kita begitu dimanja takdir? Berjumpa. Tertawa. Bersedih. Lalu tanpa sadar saling merindu.

Dan kini…

Kita juga mesti menerima sebuah kenyataan yang nyata dan telah ada di hadapan: keterpisahan itu telah jadi niscaya.

~

Mempertanyakan mengapa harus ada perjumpaan bila berujung perpisahan adalah sebuah kepengecutan. Dan cinta, juga kebahagiaan yang menyertainya, bukan milik para pengecut. Ia adalah hadiah untuk orang-orang yang berani. Berani berjuang. Berani berdoa. Dan tentu berani menanti tanpa harus merasa tersakiti. Karena kimia jiwa ini butuh waktu untuk bisa bereaksi.

“Surga itu ada di bawah naungan pedang“. Tiada kebahagiaan tanpa keberanian. Dan keberanian cuma dipunya sebagian orang.

Aku, dirimu, termasuk sebagian yang mana?

Demi detik-detik kehidupan yang habis untuk memikirkanmu. Bila kita merasa takdir tak lagi memanjakan kita. Bila keterpisahan ini bukan lagi tipu daya. Buatku, rasa itu akan tetap ada. Membersamai tiap-tiap cita yang coba dicipta tanpa harus lupa: doa punya daya untuk menganulir takdir.

Dirimu. Semoga. Selalu. Detik ini dan selamanya. Jadi bintang yang menggantung di langit rindu.