Jumat, 07 Maret 2014

Kepemimpinan Indonesia, Kepemimpinan Menggerakkan



Kepemimpinan Indonesia, Kepemimpinan Menggerakkan
Oleh Anies Baswedan

Disampaikan dalam Orasi Kebangsaan di Milad ke-66
Keluarga Besar - Pelajar Islam Indonesia di Yogyakarta, 4-5 Mei 2013

Kalau ada satu kata yang dapat merangkum sejarah panjang Pelajar Islam Indonesia, kata itu adalah ‘keberanian.’ Keberanian untuk memegang teguh prinsip. Keberanian untuk berbeda walaupun ditekan penguasa. Keberanian untuk tidak tunduk pada godaan murahan jangka pendek dan murahan duniawi. Keberanian adalah nama lain dari PII.
Saya ingat saat PII bergerak “bawah tanah”, sekitar tahun 1993. Ketua PII Yogyakarta Besar waktu itu,kawan baik saya,In’amul Mustofa. Saya Ketua Senat Mahasiswa di UGM dan kami sering “bergerak” bersama. Suatu sore PII Yogbes mengadakan acara –saya tidak ingat persis diskusi atau training- diadakan di sebuah rumah di daerah Karangkajen, sebuah komunitas santri di bagian selatan Yogyakarta.Saya sendiri asli Jogja, sehingga amat dekat dengan pemahaman peta afiliasi kampung-kampung di Jogja pada masa itu. Maklum saat itu begitu banyak kegiatan PII dilakukan underground dan di kampung-kampung yang istiqamah sependirian dengan PII. Hadir sekitar 5-7 orang aktivis PII, termasuk In’am. Acara dibuka dengan pembacaan Al-Quran. Sesudah itu dibuka dengan menyanyikan Indonesia Raya. Ya, kami hanya berdelapan menyanyikan Indonesia Raya di sebuah rumah kecil, agak redup cahanya.Lagu kebangsaan itu digelorakan dengan amat penuh semangat. Semua menyanyikan dari hati. Lagu kebangsaan itu dinyanyikan oleh ranting sebuah organisasi yang oleh Orde Baru dicap “melawan” prinsip negara. Dada ini bergetar, ada air mata yang mengambang. Syairnya jadi amat bermakna saat segelintiranak-anak muda walau “dimusuhi” penguasa negara, menyanyikan lagu kebangsaannya,di ruang sunyi, sebagai bukti cintanya pada negara ini. Indonesia Raya dinyanyikan sore itu bukan sebagai ritual basa-basi, ia dinyanyikan dari hati dan sepenuh hati. Rezim Orde Baru boleh saja memangkas plang papan nama di basis-basis PII, tapi Orde Baru tak pernah bisa memangkas rasa juang, rasa cinta negeri anak-anak pejuang PII. Keberanian dan ketulusan luar biasa menggelora sore itu. Sebuah pengalaman yang tidak pernah bisa saya lupakan. Acara resmi pemerintahandi masa itupun tak pernah dimulai dengan Indonesia Raya. PII memang luar biasa!
Saya ingat dengan gaya-gaya pegiat PII sebaya saya dulu, terutama di Jogja. Tampilannya sopan, ekspresi bahasanya tetap santun tapi sikap jelas, tegas, berprinsip, dan bernyali. Itu kira-kira jalan yang ditempuh. Saya sendiri merasa connected dengan style ini.Hari ini mungkin karena sering melihat pemimpin santun yang lembek maka sebagian kita ingin tampil bernyali dengan cara asal nyaring,kasar, sinis dan pesimistik. Padahal nyali dan nyaring/kasar itu beda sekali, dan kenyaringan memangbukan ukuran keberanian seperti yang akhir-akhir ini sering secara salah kaprah dijadikan alat menilai. Jika kita ingat gaya berpolitik Indonesia modern, banyak sekali contoh figur dignified, santun dan tegas seperti deretan nama para pendiri republik ini.
Bernyali memang bukan barang baru bagi PII. Sejak didirikan pada tanggal 4 Mei 1947 di Jogjakarta oleh sekelompok anak muda pemberani, PII langsung menempatkan diri di dalam kancah perjuangan yang menantang nyali. Saat itu, tahun 1947, kekuatan kolonial kembali datang untuk merampas kemerdekaan Indonesia. Menjawab gempuran dengan senjata-senjata mutakhir itu, PII membentuk Brigade PII yang membersamai perjuangan pemimpin gerilya yang legendaris, Jenderal Sudirman. Keberanian para pelajar Islam ini membuat sang Jenderal tergerak untuk menyampaikan pidato terima kasih pada Hari Bangkit PII yang pertama pada tahun 1948.Keberanian PII untuk memegang teguh prinsip juga membawa mereka pada benturan demi benturan di dalam sistem politik Indonesia yang penuh perebutan kepentingan. Dalam kiprah panjangnya itu, PII tetap berani berdiri memegang prinsip yang diyakini.
Keberanian. Kata inilah yang akan menjadi kunci para pendiri dan penggerak awal roda kemajuan di republik tercinta ini.
Ada sebuah buku yang sangat mengesankan, judulnya Profiles in Courages. Ini sebuah buku yang terbit pada 1955, ditulis John F. Kennedy. Tentu saja, saat itu ia belum menjadi presiden.Ada beberapa politisi yang kisahnya dibentangkan Kennedy dalam buku ini. Satu benang merah tematik yang menyatukan kisah mereka: keberanian dalam mempertahankan keyakinan dan prinsip meski harus tak populer, disalahpahami, atau dicemooh.
Dalam buku itu Kennedy mengungkapkan, tegar membela keyakinan bukan urusan gampang. “Kita menyukai ikatan persahabatan dan kita merasa puas jika diterima di antara teman. Kita lebih suka memuji ketimbang memaki, mencari popularitas ketimbang mencari gara-gara. Lantaran menyadari bahwa jalur hati nurani merupakan jalur sepi, dengan berat hati atau terpaksa mengikuti aturan main dan perilaku kelompok serta tidak menempuh jalur berbeda dan mandiri yang bisa mempermalukan kelompok atau mengusik kekompakan kelompok,” begitu yang dituliskan oleh Kennedy.
Betapa benar dan relevan pikiran tersebut sampai detik ini. Memang tak mudah menegakkan keyakinan individual di tengah hingar-bingar pendirian khalayak ramai. Kompromi pada gilirannya menjadi santapan.
Mari kita ingat, cukup keraskah suara para anggota DPR yang menentang kunjungan kerja ke luar negeri sejawatnya? Saya percaya, masih banyak anggota DPR yang punya kewarasan untuk menolak kegiatan yang lebih banyak mudaratnya tersebut. Tapi, apakah mereka hanya menolak di dalam hati, berbicara lirih, atau sikap lantang di ruang publik?
Tentu, ini tak berlaku buat anggota dewan yang fraksinya menolak. Bisa dengan lempang mereka ikut meneriakkan penolakan.
Berbeda kiranya jika fraksi Anda membolehkan anggotanya untuk ikut. Anda tak setuju tapi fraksi bersimpang pendirian. Hanya cari masalah jika menyuarakan pendirian berbeda. Mungkin Anda bisa langsung diganti, atau ditunggu sampai masa jabatan berakhir lalu tak dicemplungkan dalam daftar calon legislatif di pemilu berikutnya. Risiko-risiko itu terlampau mudah untuk dideteksi.
Tak berbeda jauh dengan lembaga eksekutif. Di kabinet, misalnya. Kabinet adalah sebuah orkestra dengan presiden sebagai konduktornya. Setiap menteri pasti diberi keleluasaan untuk bertindak dan mengambil keputusan. Namun, itu semua mesti berada di dalam koridor yang disepakati, entah disepakati bersama atau berdasarkan titah pemimpin tertinggi. Menyempal dari koridor itu, misalnya dengan menolak pihak swasta sebagai pelaksana proyek jembatan Selat Sunda, membuat Anda harus hengkang.
Andai bertahan di dalam pun, hanya situasi kacau yang muncul di mata publik. Tinggal bagaimana presiden meletakkan keberpihakan. Mereka yang tak sesuai dengan preferensi presiden mesti menyingkir. Lagi, risiko-risiko itu terlampau mudah untuk dideteksi—entah untuk dihindari atau justru disongsong.
Keluarga Besar PII yang budiman,
Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2012 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan negeri ini masih belum layak bergembira.
IPK Indonesia turun dari peringkat 110 menjadi 118 dari 176 negara pada 2012 dengan skor 32. Peringkat Indonesia sejajar dengan Republik Dominika, Ekuador, Mesir, dan Madagaskar. Secara regional, Indonesia masih kalah dengan Singapura (skor IPK 87), Brunei Darussalam (55), Malaysia (49), Thailand (37), Filipina (34), dan Timor Leste (33).
Sementara,majalah TEMPO memilih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pilihan 2012. Lembaga ini, di satu sisi, sangat diharapkan berperan dalam memberantas korupsi. Namun, di sisi lain, tak kurang banyak ikhtiar untuk menggembosinya. Cara penggembosan bermacam-macam: uji materiil UU KPK, kriminalisasi para komisioner, penarikan tenaga penyidik, atau menghalangi pembangunan gedung baru.
Publik secara tegas berada di pihak KPK. Kita ambil contoh isu pembangunan gedung baru. Dengan militansi mengagumkan disisipi humor pahit nan cerdas, mereka mengupayakan “Koin untuk KPK.” Dalam konteks persoalan ini, para wakil rakyat di Senayan justru menjadi lawan karena tak meloloskan anggaran. Para pemimpin kita itu tak menjadi teladan. Harapan seketika padam.
Mestinya para wakil rakyat kita berdiri paling depan dalam menyokong kiprah KPK mengingat daya rusak korupsi begitu dahsyat. Hasil audit investigasi tahap I Badan Pemeriksa Keuangan menemukan indikasi kerugian negara dalam proyek pembangunan sarana olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat mencapai Rp 243,66 miliar. Temuan itu berdasarkan hasil pemeriksaan sampai akhir Oktober 2012 .
Mari berhitung sederhana. Dengan uang sejumlah itu berapa ratus sekolah bisa dibangun, berapa ribu guru bisa disejahterakan, berapa ratus ribu buku bisa dikirim ke anak-anak bangsa di seantero negeri.
Tentu saja, mereka yang melakukan korupsi adalah para pejabat publik, bukan rakyat jelata. Bukan hanya para birokrat karir melainkan juga para politisi.
Setiap tahun, selalu saja ada politisi yang terbongkar kasus korupsinya. Sepanjang 2012, misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 52 kader partai politik yang terjerat kasus korupsi. Rinciannya, 25 dari kalangan atau mantan DPR/DPRD, 24 dari kepala daerah, 2 pengurus partai, dan 1 menteri aktif.
Maka benar belaka pernyataan Bung Hatta di depan civitas academica Univeritas Indonesia pada 11 Juni 1957: “Berpolitik tidak lagi diartikan melaksanakan tanggung jawab tentang kebaikan masyarakat, tetapi dipandang sebagai jalan untuk mencari keuntungan dan membagi-bagi rejeki dan jabatan kepada golongan dan kawan-kawan sendiri.”Bung Hatta mengatakan ini 55 tahun yang lalu, jauh sebelum reformasi!
Betapa kerap sosok Bung Hatta ini menjadi prototipe pemimpin yang mencerminkan jiwa dan sikap antikorupsi. Kita semua pasti masih ingat kisah Bung Hatta dan sepatu Bally. Cerita itu mendekati taraf klasik. Diulang-ulang dalam berbagai kesempatan, terutama di hadapan kalangan muda, untuk menunjukkan bahwa Indonesia pernah punya inspirator dalam soal integritas, dalam soal bersatunya kata dan perbuatan.
Pada 20 Juli 1956, Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR Sartono yang isinya antara lain: “Merdeka! Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi.”
Empat bulan setelah surat itu dikirim, DPR belum memberikan tanggapan. Tak jelas alasannya. Muncul beberapa spekulasi. Salah satunya, DPR menolak secara halus permintaan Hatta tersebut dengan cara tak merespon surat tersebut. Maka, 23 November 1956, Hatta menulis surat kedua. Isinya senada: ia minta berhenti sebagai wakil presiden, jabatan yang telah didudukinya selama 11 tahun.
Kali ini, DPR menanggapi. Sejumlah rapat digelar, termasuk dengan Presiden Sukarno. Akhirnya, pada 1 Desember 1956, Hatta resmi menjadi rakyat biasa, tak lagi menjadi orang nomor dua di republik ini.
Semua ini berhulu dari tegarnya prinsip. Dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, kata Hatta, kepala negara sekadar lambang dan wakil presiden tidak diperlukan. Dengan tegas Hatta berujar, “Sejarah dwitunggal dalam politik Indonesia tamat, setelah UUD 1950 menetapkan sistem kabinet parlementer.”
Niscaya juga ada andil perbedaan pandangannya dengan Sukarno dalam beberapa hal. Dua hal terpenting adalah menyangkut revolusi dan kaum komunis di Indonesia. Hatta berkeyakinan, revolusi sudah selesai, sedangkan Sukarno masih saja terobsesi dengan revolusi. Berkaitan dengan kalangan komunis, Hatta enggan bekerja sama dengan mereka; sementara Sukarno berpandangan berbeda.
Sejatinya, perbedaan ini bisa ditarik jauh sampai dekade 1930-an. Ketika Hatta percaya dengan pendidikan kader politik secara intensif. Di mata Hatta, seperti tertuang dalam tulisannya di Daulat Rakjat, 20 September 1932: “Dengan agitasi mudah membangkitkan kegembiraan orang banyak, tetapi tidak membentuk pikiran orang.”
Sukarno lebih memilih cara propaganda yang menyihir massa. Bagi Sukarno, politik adalah soal machtsvorming dan machtsaanwending. Denganmassa, partai bisa merangsek ke arah musuh dan menaklukkannya. Pandangan yang saya kira cocok dan tepat untuk perjuangan berbasis massa di era itu.
Dengan segenap alasan di atas, Hatta mundur. Dwitunggal berakhir. Ia memilih kembali menjadi rakyat biasa ketimbang mengkhianati prinsip diri. Buat Hatta, berpolitik mesti diorientasikan sebagai “tanggung jawab tentang kebaikan masyarakat.” Ini bukan urusan memperkaya diri sendiri atau kerabat dengan uang rakyat.
Berpolitik itu mengusung gagasan dan menuntaskannya dengan kepala tegak. Jika berpolitik itu semata-mata demi memuaskan nafsu kekuasaan, yang bersangkutan niscaya bakal keluar gelanggang dengan kepala menunduk.Kami merasa, hari ini terlalu banyak orang kepalanya menunduk.
Keluarga Besar PII yang saya hormati,
Mari kita kembali ke masa kini. Sejak 2009, kita memulai sebuah gerakan yaitu Gerakan Indonesia Mengajar. Kami menemani anak-anak muda untuk “turun-tangan”.
Titik berangkatnya adalah kesadaran bahwa garda terdepan untuk meraih kemenangan adalah kualitas manusia . Kualitas manusia ini hanya bisa diraih lewat pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas itu sebab utamanya bukan karena gedung, buku, kurikulum atau bahasa tapi hadir dari guru yang berkualitas. Soal pendidikan adalah soal guru. Di balik kompleksitas perdebatan yang rumit dan panjang soal sistem pendidikan, soal kurikulum, soal ujian dan semacamnya, terdapat para guru. Mereka berdiri di depan anak didiknya; mereka mendidik, merangsang,dan menginspirasi. Pada pundak guru-guru ini, kita titipkan persiapan masa depan republik ini. Para guru adalah futurolog yang sebenarnya, di hadapannya duduk anak didik yang akan jadi wajah masa depan republik ini. Cara kita memikirkan, menghormati dan memperlakukan guru hari ini adalah cara kita menghormati masa depan bangsa ini.
Dengan tegas harus saya katakan sebagai bangsa kita secara lisan nyatakan peduli, tapi senyatanya tak peduli pada nasib guru. Bangsa ini titipkan anak-anaknya pada para guru, tapi kita tak mau peduli nasib mereka. Saya tidak ingin berbicara terlalu jauh soal ini, tapi izinkan kami mengajak seluruh keluarga besar PII untuk ikut turun tangan, ikut peduli pada nasib guru dan urusan pendidikan. PII takkan hadir dan membesar tanpa deretan guru, mentor, trainer yang dahsyat, hebatserta legendaris itu. Mereka berderet seperti orang tua kami di Universitas Paramadina: Mas Tom, Pak Utomo Dananjaya. Pikirkan nasib guru, pikirkan nasib pendikan kita, pikirkan masa depan republik ini lewat kualitas manusianya!
Hari ini kita berhadapan dengan masalah berikut: rendahnya kualitas guru dandistribusi guru yang tidak merata. Menghadapi masalah ini kita bisa berkeluh kesah,menyalahkan pemerintah, sekolah, dinas, guru, bupati, dan lain-lain. Atau,pilihan lain, kita gulung lenganbaju dan berbuat sesuatu. Kami memilih opsi kedua.
Libatkan diri kita untuk mempersiapkan masa depan Indonesia. Untuk kita, untuk masa depan anak-anak kita dan untuk melunasi janji kemerdekaan:mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ada dua tujuan yang hendak direngkuh lewat Gerakan Indonesia Mengajar. Pertama,mengisi kekurangan guru berkualitas di sekolah dasar, khususnya di wilayah terpencil. Kedua, menyiapkan anak muda Indonesia, lulusan terbaik perguruan tinggi dari dalam dan luar negeri untuk menjadi pemimpin masa depan yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kedekatandengan rakyat kecil. Hatinya bersama rakyat kecil.
Bayangkan, anak-anak Indonesia terbaik, pemimpin-pemimpin muda tinggal bersama rakyat di pelosok Indonesia selama setahun, jauh dari kenyamanan hidup. Pengalaman ini akan menempel seumur hidup. Bagi anak-anak terbaik yang rata-rata usianya 23 tahun ini, desa itu akan menjadi rumah kedua mereka, keluarga angkat menjadi keluarga kedua mereka. Tenun Kebangsaan republik ini akan menjadi jauh lebih kokoh. Harapannya kelak, kalau menjadi pemimpin, di sektor manapun mereka berkiprah, mereka memiliki world-class competencesekaligus mempunyaigrass-roots understanding.
Sekali lagi, mereka juga akan menjadi role model. Karena itu, Indonesia Mengajarmengundang anak-anak muda yang terbaik: prestasi akademiksolid, berjiwa pemimpin, cakap berorganisasi, piawai berkomunikasi, berprestasi dan tangguh.
Ya, mereka bukan untuk bersenang-senang di sana. Jangan dikira pula mereka bakal langsung diterima masyarakat setempat. Pasti ada tantangan dan masalah. Tantangan sosiologis, geografis yang luar biasa. Itu semua mesti mereka hadapi. Sendiri. Maka, setahun mengikuti program ini mereka tak ubahnya mengikuti leadership training yang luar biasa, yang tak ternilai,priceless.
Dalam setiap musim pendaftaran, jumlah yang mengirim aplikasi jauh melampaui kapasitas yang tersedia. Sudah hampir 40 ribu anak muda yang menyatakan siap, yang mendaftar. Mayoritas sudah bekerja dan mapan. Ribuan layak berangkat dan jadi pejuang, tapi kami baru mampu untuk memberangkatkan sekitar 300an orang. Yang berangkat adalah benar-benar anak muda pemimpin yang sangat terseleksi.
Kami di Indonesia Mengajar pun masih sering terkejut melihat semangat anak-anak muda ini untuk terlibat dan turun tangan langsung menyelesaikan sedikit persoalan pendidikan kita. Bergetar kami setiap membaca dan mendengar alasan mereka untuk turun tangan, untuk mewakili kita semua berada di ujung-ujung negeri yang tanpa sinyal telpon, tanpa listrik dan minim air bersih. Mereka tidak berkorban, mereka mendapatkan kehormatan untuk mewakili kita semua melunasi janji kemerdekaan: mencerdaskan saudara sebangsa. Sejauh-jauhnya sebuah desa itu dari Jakarta atau Jogja, desa itu sama dekatnya dengan Indonesia kita. Mereka semua adalah saudara sebangsa.
Saya memunculkan cerita soal Gerakan Indonesia Mengajar ini semua dengan rasa rendah hati, dengan rasa syukur, dan ingin mengirimpesan tentang generasi baru yang membanggakan: bahwa melihat anak-anak muda itu saya yakin bahwa kita masih punya banyak stok pejuang dan pemimpin masa depan. Dengan prestasi akademik yang amat baik, leadership potential yang solid, serta deretan prestasi, sebenarnya mereka dapat dengan mudah meraih pekerjaan yang diidamkan di gedung tinggi, nyaman dan bergaji tinggi. Namun, mereka memilih bergabung menjadi guru SD di pelosok negeri, bersama saudara sebangsa yang masih amat jauh dari sejahtera.
Bapak, Ibu Keluarga Besar PII yang saya hormati, izinkan saya sampaikan dengan penuh rasa syukur, bangga dan tegas: IBU KITA TETAP MELAHIRKAN PEJUANG!
Di luar mereka, ada ribuan orang lain yang membuat kita tak layak mengerek naik bendera pesimisme. Setelah berkeliling Indonesia, bertemu dengan orang-orang yang inspiratif: tanpa banyak gembar-gembor, berbuat sesuatu yang bermakna, berguna bagi orang lain. Jauh dari hiruk-pikuk pemberitaan tapi karya mereka sungguh berdampak.
Keluarga Besar PII yang saya cintai,
Menjadi pemimpin adalah menjadi pemberi janji, membuat komitmen. Saya tak sepaham dengan pendirian: yang penting beri bukti, bukan janji. Dengan memberi janji, ada sesuatu yang bisa ditagih. Bagaimana mungkin kita menagih sesuatu yang tak pernah dijanjikan sebelumnya?! Keberhasilan seorang pemimpin justru terutama dilihat dari keberhasilannya memperpendek jarak antara janji dan kenyataan. Semakin pendek jarak, semakin berhasil dia. Demikian sebaliknya.
Konsitusi menegaskan empat janji, bukan cita-cita. Saya lebih suka menyebutnya sebagai Janji Kemerdekaan, bukan Cita-cita Kemedekaan. Cita-cita itu sesuatu yang ingin dicapai tapi bisa abstrak. Cita-cita itu jika tercapai akan disyukuri, jika tidak tercapai akan direvisi. Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji tak pantas dan tak boleh direvisi. Republik ini berjanji dan janjinya harus dilunasi. Tanggung jawab melunasi itu menempel pada semua kita, walau beban terbesar adalah pada siapa pun yang menjadi pemimpin di republik ini. Janji kemerdekaan kita adalah:
1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
2) untuk memajukan kesejahteraan umum,
3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kita pasti mafhum, empat janji itu luar biasa berat. Setiap pemimpin dan kita semua mestinya menyadari bahwa hal tersebut adalah janji yang harus dibayar lunas.
Saya kurang sependapat dengan konsep pemimpin yang menawarkan diri: saksikan, saya akan hadir untuk menyelesaikan masalah Anda. Itu kuno. Kepemimpinan yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah kepemimpinan yang menggerakan. Kepemimpinan yag memberikan semangat, hadir membawa “nyawa”, menyajikan nuansa, dan menyodorkan perasaan tujuan yang sama. Pemimpin yang mampu memberi inspirasi sehingga lahir afeksi aktif dari orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang membuat orang yang dipimpin bergerak untuk ikut, untuk turun tangan bekerja dan berkontribusi untuk menyelesaikan masalah. Bukan pemimpin yang menumbuhkan afeksi pasif, yang membuat orang-orang yang dipimpin terlena, hanya diminta untuk menonton pemimpinnya bekerja, dan tidak bisa keluar dari jebakan pola hubungan patron-client yang telah menghantui bangsa kita begitu lama.
Pendekatan yang lebih tepat adalah kepemimpinan yang hadir untuk merangsang semua orang untuk mau menyelesaikan masalah. Mungkin istilah yang pas adalah menggerakkan. Pemimpin bisa menggerakan jika dia DIPERCAYA. Tanpa trust maka pemimpin tidak akan mungkin diikuti, apalagi menggerakan. Bila rumus trust itu dibuat dalam sebuah persamaan sederhana, maka angka trust bisa dirumuskan sebagai berikut.
Nilai Kepercayaan = Kompetensi + Integritas + Kedekatan – Self-Interest.
Hari ini kepercayaan kita pada pemimpin-pemimpin mengalami penurunan yang luar biasa bukan karena skor kompetensi yang rendah tapi karena rendahnya angka Integritas dan rendahnya Angka Kedekatan serta tingginya angka Self-Interest sehingga skor Kepercayaan jatuh, jadi amat rendah. Bahkan banyak yang karena angka self-interest-nya amat besar maka nilai kepercayaannya drop hingga minus!
Model kepimpinan itu juga yang coba diterapkan di Gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan ini selalu menyatakan bahwa rodanya hanya bisa bergerak karena adanya kepercayaan kolektif(collective trust). Gerakan Indonesia Mengajardan para Pengajar Muda tidak berencana menyelesaikan seluruh masalah pendidikan di Indonesia. Namun Gerakan ini berencana mengajak semua pihak turun tangan menyelesaikanmasalah pendidikan di Indonesia.
Sekali lagi, problem di bangsa ini demikian banyak. Tidak bisa kita berharap satu atau dua orang menyelesaikan semua masalah itu. Semua orang harus bergerak sesuai sektor, bidang dan kemampuan masing-masing.
Kepemimpinan ideal, dalam imajinasi kami, seperti konduktordalam sebuah orkestra. Coba kita tanya pada pemain biola: bisakah main tanpa konduktor? Bisa! Tanya pemain piano, bisakah main tanpa konduktor? Bisa! Tanya seluruh pemain orkestra. Semua bisa melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, tanpa kehadiran seorang konduktor.
Tapi, kehadiran konduktor itu memberikan nyawa, menyajikan nuansa, menyodorkan perasaan tujuan yang sama. Dia hadir dan menggerakkan. Membuat semua merasa punya tujuan, membuat semua mau bergerak. Dia menggugah untuk semua mau turun tangan. Konduktor tak perlu jadi pemain biola, bass atau piano. Setiap orang memainan perannya tetapi konduktor merancang, menyiapkan dan mendorong semua untuk bergerak ke tujuan yang sama.
Pemimpin semestinya hadir pada situasi ketika ia diharapkan mampu memberi keputusan. Hadir, bukan menghindar.Kepemimpinan itu bukan soal menang atau kalah,namun urusan hadir dan berani terlibat.
Pemimpin harus percaya diri saat mengambil keputusan. Kalau pun ia mempunyai karakter indecisive (ragu-ragu), jangan sampai terlihat sebagai pemimpin yang ragu-ragu. Jangan takut padatulisan di media massa dan opini di media sosial hari ini. Takutlah pada sejarawan!
Keragu-raguan membuat duit rakyat terbuang percuma. Lebih penting lagi, tak memberikan rasa nyaman kolektif di jiwa rakyat saat mengetahui diri mereka dipimpin seorang peragu.
Determinasi diri akan menciptakan nuansa optimisme. Ini penting dimunculkan ketika para pemimpin-pemimpin kita lebih banyak hadir di masyarakat dengan keluh kesah, bukan harapan.
Para pemimpin sebelum -maupun di awal- kemerdekaan dihadapkan pada situasi bangsa yang penuh dengan keterbelakangan dan kemiskinan. Namun, dengan kondisi tersebut, para pemimpin itu pada akhirnya mampu menghela republik ini menuju perubahan.
Meskipun dalam situasi negatif, pesan-pesan para pemimpin itu mampu didengar di segala penjuru negeri dan sanggup menggerakkan rakyat untuk berubah. Itu menjadi mungkin karena mereka tidak melihat republik sebagai sumber mata pencarian.Mereka tidak melihat posisinya di pemerintahan sebagai kesempatan menimbun kekayaan. Mereka melihatnya sebagai kewajiban sebagai anak bangsa.
Para pemimpin dahulu tidak menggarisbawahi soal keterpurukan bangsa. Bung Karno, misalnya, tidak berpidato tentang rakyatnya yang buta huruf, tapi ia mempidatokan mari kita memberantas buta huruf. Di tengah rakyatnya yang 95% buta huruf, dia serukan, “beri aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang dunia.” Bung Karno tak memangkas percaya diri rakyat, ia bangun percaya diri rakyat walau keterbelakangan rakyatnya itu amat kasat mata dan nyata. Semua pemimpin harus menebarkan optimisme kepada semua warga negara.

Keluarga Besar PII yang budiman,
Banyak orang mengatakan, kita membutuhkan bukan hanya pemimpin muda karena memang sesungguhnya pemimpin itu bukan soal usia. Tapi menurut saya Indonesia saat ini membutuhkan KEBARUAN. Pemimpin yang menawarkan kebaruan. Gagasan baru, nyali baru, gaya baru. Ia hadir membawa kesegaran, kebaruan.Apalagi dunia terus berubah. Maka, cara pandang terhadap masalah pun mesti berubah.Disinilah anak muda biasanya bisa membawa kebaruan. Tapi bila ada anak muda yang usianya saja yang baru, pola kepemimpinannya kuno dan gagal membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan publik, apalagi koruptif maka sesungguhnya dia adalah bagian dari masa lalu, bukan bagian dari generasi baru.
Satu hal yang tak boleh berubah adalah integritas diri, bersatunya kata dan perbuatan. Saya percaya, teman-teman PII percaya dan sehaluan dengan pendirian ini. Cukup sudah bangsa ini dipimpin mereka yang gemar bersilat lidah, bermain pokrol bambu. Tak ada kans lagi untuk pemimpin model demikian jika kita mau memenangkan masa depan dankita ingin melunasi seluruh janji kemerdekaan.
Indonesia memasuki persimpangan jalan. Kepemimpinan ke depan menentukan apakah kita akan masuk dalam jebakan negara menengah-miskin, atau akan jadi negara maju-sejahtera. Kuncinya bukan cuma demokrasi, bukan cuma ekonomi kuat tapi justru ada pada hadirnya kepastian hukum di seluruh negeri. Bukan ahli hukum yang diperlukan tapi pemimpin menggerakkan yang bernyali,yang ditopang sederet orang-orang pemberani untuk menegakkan hukum. Republik membutuhkan pemimpin yang menggerakan dan bernyali besar. Seperti saya sebutkan sebelumnya, tutur katanya boleh santun, senyumnya boleh sopan tapi nyalinya harus besar, sikapnya harus tegas. Sekali lagi, repubik ini membutuhkan pemimpin menggerakkan yang bernyali besar dan Keluarga Besar PII harus mengambil sikap yang berani, jelas dan tegas untuk mendorong anak-anak bangsa berkarakter seperti itu yang bisa ikut membawa republik ini menuju kejayaannya.

Keluarga Besar PII yang saya hormati,
Demikian sekelumit idedari saya. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan bagi saya berbagi rasa, pikiran dan harapan. Menyampaikannya di Keluarga Besar PII seperti menyampaikan di keluarga sendiri.
Sekali lagi, Selamat Milad ke-66 PII. Saya percaya Keluarga Besar PII akan -dan memang harus- meneruskan tradisi pemberani, tradisi pejuang. Biarkan sejarah terus mencatat bahwa perjalanan PII sebagai perjalanan sebuah garda yang menjaga tegaknya nyawa idealisme moral republik ini.
Biarkan semua bangga bahwa Keluarga Besar PII tidak menjadi bagian yang membuat bangsa ini keropos dan patah. PII telah -dan harus terus- menjadi bagian yang membuat bangsa ini berdiri makin tegak, makin kokoh dan bisa berlari amat kencang menjadi kekuatan dunia, melampaui semua mimpi para pendiri republik ini.
Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Anies Baswedan
anies.baswedan@paramadina.ac.id

v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar